STUDI BASELINE UNTUK MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN BUTON



Kepulauan Buton merupakan kawasan yang berlokasi di Propinsi Sulawesi Tenggara yang secara administratif terbagi menjadi Kabupaten Buton Selatan, Kabupaten Buton Tengah, Kabupaten Buton, Kabupaten Buton Utara, Kabupaten Bombana dan Kota Bau Bau. Kegiatan studi baseline untuk monitoring terumbu karang dan ekosistem terkait di Buton ini dipimpin oleh Tri Aryono Hadi dan dilakukan pada tanggal 18 û 30 June 2016. Ditetapkan empat kabupaten sebagai lokasi monitoring, yaitu Kabupaten Buton Tengah, Kabupaten Buton Selatan, Kabupaten Buton dan Kota Bau Bau. Pelaksanaan kegiatan studi baseline ini,Pusat Penelitian Oseanografi LIPI sebagai salah satu NPIU COREMAP CTI bekerjasama dengan Dinas Kelautan dan Perikanan dari KKP yang berada di kabupaten lokasi monitoring tersebut.  Jumlah stasiun monitoring di perairan Kepulauan Buton untuk setiap ekosistemnya, adalah 16 stasiun untuk ekosistem terumbu karang, 11 lamun dan 7mangrove. Sebaran lokasi monitoring untuk setiap ekosistem dapat dilihat pada gambar peta di atas. Kondisi musim pada saat survey bulan Juni tersebut relative tenang terutama setelah purnama penuh.

 

Ekosistem terumbu karang berada dalam kategori ôsedangö dengan tutupan karang hidup rata-rata dari 15 stasiun yaitu 28.89%, dengan kisaran 8.5% - 52.9%. Karang hidup umumnya bertipe karang massive dari family Poritidae dan Faviidae, kemudian diikuti oleh Acroporabercabang. Fenomena bleaching kurang begitu terlihat di setiap stasiun penelitian. Kerusakan terumbu karang diduga akibat penangkapan ikan yang merusak, khususnya penggunaan bom. Selama studi baseline di perairan kepulauan Buton dapat terdengar suara dentuman bom di dalam air.

Ikan karang tercatat sebanyak 82 jenis dari tujuh family ikan terpilih, sedangkan  jumlah jenis pada setiap stasiun berkisar antara 30 sampai 50 jenis. Jumlah individu kakatua dan kakap merupakan yang terbanyak. Biomassa ikan yang tertinggi berasal dari kelompok ikan butana (Acanthuridae) dan kakatua (Scaridae). Dari 82 jenis tersebut, 10 terbesar kehadiran individunya adalah Ctenochaetus striatus, Naso hexacanthus, Ctenochaetus binotatus, Naso thynnoides, Zebrasoma scopas, Chlorurus sordidus, Scarus ghobban, Acanthurus pyroferus, Scarus niger, Chlorurus bleekeri.

Kehadiran megabenthos cukup bervariasi pada semua stasiun pengamatan, berkisar antara 2 û 7 jenis. Jumlah individu tertinggi terdapat di stasiun BTNC-C, 323 individu mewakili 6 jenis dan terendah di stasiun BTNC31, 23 individu (5 jenis). Drupella cornus, merupakan moluska pemakan polip karang, hadir pada semua stasiun dan memiliki jumlah total individu tertinggi (472 individu). Sedangkan jenis pemakan polip karang dari kelompok ekhinodermata (Acanthaster planci) hanya ditemukan hadir pada dua stasiun dengan individu yang sangat rendah (4 individu). Jenis-jenis ekonomis penting baik dari kelompok ekhinodermata (teripang), krustasea (lobster) dan moluska (Trochus sp / lola dan kima) sangat jarang dijumpai dan memiliki jumlah total individu yang sangat rendah, berkisar anatara 4 û 25 individu.  

Kondisi hutan mangrove di kawasan pesisir bagian selatan Pulau Buton masih baik. Rata-rata kerapatan hutan mangrove adalah 3131 phn/Ha dengan kisaran persentase tutupan tajuk berkisar antara 72.08 ¦ 4.06 sampai 84.78 ¦ 1.98. Pimpinan pemerintah daerah beserta perangkat desa yang sangat peduli terhadap kelestarian hutan mangrove. Meskipun demikian dapat dijumpai kondisi hutan mangrove yang kritis, seperti di Desa Mawasangka, Teluk Lasongko bagian dalam, dimana telah diperuntukan sebagai perumahan dalam skala besar. 

Kondisi kesehatan padang lamun di Kepulauan Buton dalam kategori rusak (kurang baik) dimana rata-rata tutupan lamun 48.8% dengan kisaran 25.19% û 74.24%. Persentase tutupan lamun tertinggi berada di Desa Sipara, Kecamatan Siompu, Buton Selatan, sedangkan yang terendah di Desa Lamena, Kecamatan Mawasangka, Buton Tengah.  Jenis Thalassia hemphricii dan Enhalus acoroides merupakan yang paling dominan. Juga dijumpai beberapa jenis megabenthos yang umum di padang lamun, seperti teripang, bulu babi dan bintang laut.

Secara umum, kondisi kesehatan ekosistem pesisir di Kepulauan Buton kurang baik sehingga perlu perhatian khusus baik dari pemerintah daerah dan masyarakat. Pembukaan lahan di daerah mangrove dan penangkapan ikan secara destruktif akan menurunkan kondisi eksosistem pesisir yang dapat berdampak pada penurunan kualitas lingkungan hidup serta pendapatan masyarakat, khususnya bagi para nelayan dan pemandu wisata bahari. Peningkatan kesadaran masyarakat mengenai peranan eksosistem pesisir dan adanya langkah positif dari pemerintah untuk mengelola kawasan pesisir dengan baik akan menghasilkan kondisi ekosistem yang lebih baik untuk kemudian kembali memerankan fungsinya. (Susetiono)