2010- Kajian Dampak Penambangan Bauksit di Daerah Kijang dan Sekitar Pulau Mamot Korelasinya Dengan Kemungkinan Perubahan Ekosistem Perairan Pesisir Timur Pulau Bintan dan Perairan Pesisir Pulau Mamot (Kepulauan Lingga)

Berdasarkan hasil kajian, baik dari pengamatan di lapangan maupun dari hasil analisis di laboratorium dapat disimpulkan bahwa:

1. Kijang, Pulau Bintan dengan perubahan tingkat kekeruhan perairan pesisir timur Pulau Bintan. Namun sejauhmana perubahan tingkat kekeruhan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
  • Hasil analisis baik citra landsat maupun ALOS mengindikasikan adanya perubahan tingkat kekeruhan dari arah selatan (sumber dampak) menuju ke-utara (lokasi DPL), secara kualitatif dapat diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) kategori, yakni: kategori kekeruhan tinggi, sedang dan rendah.
  •  Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa perubahan tingkat kekeruhan tersebut secara signifikan hanya bersifat sesaat (temporer), yakni ketika turun hujan lebat. Sebagai sumber dampak adalah di lokasi beberapa dermaga pengapalan (jeti).
  • Hasil model perhitungan berdasarkan hukum stokes penyebaran kekeruhan bisa mencapai radius sekitar 2 km dari sumber dampak, yang tergantung dari sifat fisik (ukuran butir, densitas) dan volume material, dan dipengaruhi oleh kondisi iklim (curah hujan) dan hidrooceanografi (arah dan kecepatan arus, gelombang dan pasang surut) serta sifat fisik medium pembawa (densitas, viskositas air laut).
  • Sementara ini untuk penambangan bauksit di Kepulauan Lingga belum nampak adanya korelasi tersebut, mengingat lokasi penambangannya relatif  jauh dari perairan pesisir Pulau Mamot (> 2 km).

2. Korelasi antara perubahan tingkat kekeruhan dengan perubahan ekosistem perairan sebagai akibat dampak aktivitas penambangan baik di Pulau Bintan maupun di Mamot (Lingga), secara umum belum menunjukkan adanya perubahan ekosistem perairan yang signifikan. Namun sejauhmana korelasi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
  • Kondisi eksisting perairan di kedua lokasi kajian tersebut berdasarkan indikator parameter fisik air, kimia dan kandungan logam berat serta biota perairan masih dalam kondisi batas normal bagi kehidupan biota perairan. Walaupun terdapat beberapa parameter melebihi dan / atau sedikit dibawah nilai baku mutu KLH, namun jika ditarik garis dari titik sample yang diambil dari sekitar DPL menuju titik sample yang diambil dari perairan di sekitar sumber dampak, menunjukkan adanya kecenderungan  perubahan kualitas fisik perairan yang cukup signifikan. Sedangkan perubahan kualitas kimia dan kandungan unsur logam berat serta parameter biota perairan walaupun tidak signifikan, namun juga memperlihatkan adanya kecenderungan yang semakin meningkat.
  • Hasil pengamatan terhadap terumbu karang dan padang lamun di sekitar lokasi DPL (seperti perairan pesisir Pantai Trikora, perairan pesisir  Pulau Mapor dan perairan pesisir Pulau Pangkil) masih dalam kondisi normal. Secara umum belum terjadi perubahan secara signifikan,  kecuali terumbu karang dan padang lamun di sekitar lokasi dermaga (jeti) dengan tingkat kekeruhan tinggi, pada umumnya sudah mulai rusak dan bahkan mati. Demikian pula tentang kondisi vegetasi mangrove pada umumnya masih dalam kondisi baik, kecuali vegetasi mangrove yang berada di sekitar aktivitas penambangan bauksit di bagian selatan pesisir Pulau Bintan mengalami ancaman kerusakan yang cukup serius.
3. Walaupun secara umum perubahan tingkat kekeruhan belum berdampak secara signifikan terhadap perubahan ekosistem perairan, namun dengan semakin meningkatnya aktivitas penambangan bauksit dan aktivitas lainnya tanpa memperhatikan kepedulian terhadap lingkungannya, kini merupakan ancaman yang cukup serius akan terjadinya perubahan ekosistem perairan di sekitar daerah perlindungan laut (DPL) yang telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi yang perlu dilestarikan.

4. Kekhawatiran masyarakat (khususnya nelayan) yang tinggal di wilayah pesisir timur Pulau Bintan dan pesisir Pulau Mamot, baik terhadap aktivitas penambangan maupun rencana penambangan bauksit cukup beralasan, karena persepsi masyarakat tentang dampak negatifnya menyangkut berbagai aspek kehidupan mereka yang perlu mendapat perhatian pemerintah. Persepsi masyarakat yang dimaksud adalah daya tangkap (sikap) dan informasi yang diterima oleh masyarakat tentang dampak negatif aktivitas penambangan tersebut diantaranya:
  • Rusaknya wilayah perairan pantai dengan ekosistem dasar perairan sebagai tempat pemijahan ikan dan biota laut lainnya.
  • Sementara tingkat kekeruhan yang terjadi akibat penambangan, bersama-sama dengan gangguan eksositem pantai akan mengakibatkan terjadinya perubahan terhadap kelimpahan dan keanekaragaman plankton, benthos, dan nekton dan berdampak lebih lanjut terhadap penurunan produktifitas primer serta pertumbuhan terumbu karang.
  • Menjauhnya ikan-ikan dari lokasi daerah penangkapan ikan (fishing ground) akibat terganggunya wilayah tersebut oleh aktivitas penambangan.
  • Terganggunya jalur penangkapan nelayan karena sebagian kawasan tumpang tindih dengan fishing ground (daerah tangkapan ikan nelayan).
  • Terganggunya lalu lintas perahu nelayan untuk menuju lokasi penangkapan ikan dan atau penangkapan hasil produksi ikan.
  • Terganggunyaprasarana dan sarana penangkapan ikan karena kegiatan lalu lintas penambangan. Seperti rusaknya alat tangkap ikan, karena untuk alat penangkapan ikan jenis jaring rawai yang biasanya ditebar di pesisir atau selat karena bisatertabrak dan terseret oleh melajunya kapal tongkang pengangkutbauksit.
  • Menurunnya produksi atau produktivitas hasil tangkapan ikan nelayan  karena adanya penurunan tingkat produktivitas primer diwilayah perairan sekitar lokasi penambangan.
  • Kemungkinan besar menurunnya pendapatan keluarga nelayan, terutama nelayan tradisional sebagai efek dari penurunan hasil tangkapannya, khususnya bagi sebagian besar nelayan yang dikelompokkan sebagai nelayan miskin.